5 Jenis kecerdasan manusia

5 Jenis kecerdasan manusia



1. Intellegent Quotient (IQ)
Kecerdasan Pikiran ini adalah kecerdasan yang bertumpu kekuatan otak kita untuk memikirkan dalam merampungkan permasalahan. Bila kita ikuti Psikotes, terdapat beberapa masalah yang menuntut kejelian pikiran kita untuk menjawabnya, umpamanya masalah tentang delik ruangan seperti bentuk ruangan kubus yang diputar-putar bakal jadi seperti apa. Masalah ini mempunyai tujuan untuk lihat kekuatan pikiran kita dalam merampungkan satu permasalahan dari beragam segi.

Telah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (system rekrutmen serta promosi personel militer) serta dunia kerja, memakai IQ juga sebagai standard mengukur kecerdasan seorang. Namun namanya juga temuan manusia, arti teknis yang datang dari hasil kerja Alfred Binet ini (1857 – 1911) lama kelamaan memperoleh sorotan dari beberapa pakar serta mereka mencatat sekurang-kurangnya ada dua kekurangan (bukanlah kekeliruan) yang menuntut untuk diperbaruhi, yakni :
a. Pemahaman absolut pada score IQ
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyebutkan kecerdasan manusia itu telah seperti angka mati serta tak dapat dirubah, yaitu tak pas. Penemuan modern menunjuk pada kenyataan bahwa kecerdasan manusia itu cuma 42% yang dibawa dari lahir, sesaat bekasnya, 58% adalah hasil dari sistem belajar.

b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika serta logika
Steve Hallam sekali lagi menyampaikan bahwa pandangan itu tidaklah pas, karena saat ini semakin banyak pembuktian yang mengarah pada kenyataan bahwa kecerdasan manusia itu berbagai macam. Buktinya, Michael Jordan disebutkan cerdas sepanjang terkait dengan bola basket. Mozart disebutkan cerdas sepanjang punyai urusan dengan musik. Mike Tyson disebutkan cerdas sepanjang terkait dengan arena tinju.


2. Emotional Quotient (EQ)
Dimaksud juga kecerdasan Emosi. Kecerdasan Emosi ini didasarkan pada kekuatan manusia dalam mengelola emosi serta perasaan. Kecerdasan Emosi ini sangatlah punya pengaruh dalam performace serta kecakapan emosi kita dalam bekerja, serta kekuatan diri kita dalam hadapi satu permasalahan. Seorang yang mempunyai Emosi yang jelek meskipun IQ nya besar, dia bakal tidak berhasil dalam kehidupannya karena tak dapat mengontrol diri waktu hadapi satu permasalahan. Kecerdasan emosi telah jadi satu tolok ukur paling utama yang di cari oleh perusahaan pada pegawainya serta kerap adalah karakteristik penentu keberhasilan dalam kerja serta pembedaan kemampuan serta performace satu karyawan. Kecerdasan emosi yaitu kekuatan untuk memperoleh serta mengaplikasikan pengetahuan dari emosi diri serta emosi orang lain supaya dapat lebih sukses serta dapat meraih kehidupan yang lebih memuaskan. Dalam psikotes juga kecerdasan emosi ini kerap jadi tolak ukur paling utama dalam merekrut pegawai, lantaran dengan kecerdasan emosi yang tinggi meskipun mempunyai IQ yang rendah condong perusahaan merekrut pegawai yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi, lantaran kecerdasan IQ gampang untuk ditingkatkan dibanding kecerdasan emosi.

Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyebutkan bahwa “kontribusi IQ untuk kesuksesan seorang cuma seputar 20 persen serta bekasnya yang 80 persen ditetapkan oleh serumpun aspek-faktor yang dimaksud Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu ada yang memiliki pendapat bahwa bila IQ mengangkat manfaat pikiran, EQ mengangkat manfaat perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi bakal berusaha membuat keseimbangan dalam dianya ; dapat mengupayakan kebahagian dari dalam dianya serta dapat merubah suatu hal yang jelek jadi suatu hal yang positif serta bermanfaatKarena kecerdasan emosi ini lebih diutamakan pada jati diri serta emosi kita. Meskipun emosi bisa dikontrol dengan ikuti pelatihan-pelatihan seperti ESQ serta yang lain, namun perlu kesadaran tinggi untuk mengontrol emosi kita ini.


3. Spiritual Qoutient (SQ)
Kecerdasan Spiritual ini terkait dengan kepercayaan kita pada Tuhan. Kecerdasan ini nampak jika kita betul-betul meyakini atas semua ciptaannya serta semua kuasanya pada manusia (bukanlah atheis).

Danah Zohar, penggagas arti teknis SQ (Kecerdasan Spiritual) disebutkan bahwa bila IQ bekerja untuk lihat ke luar (mata pikiran), serta EQ bekerja memproses yang didalam (telinga perasaan), jadi SQ (spiritual quotient) menunjuk pada keadaan ‘pusat-diri’ (Danah Zohar & Ian Marshall : SQ the ultimate intelligence : 2001). Kecerdasan ini yaitu kecerdasan yang mengangkat manfaat jiwa juga sebagai piranti internal diri yang mempunyai kekuatan serta kepekaan dalam lihat arti yang ada dibalik fakta apa yang ada ini. Kecerdasan ini bukanlah kecerdasan agama dalam versus yang dibatasi oleh kebutuhan-pengertian manusia serta telah jadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih punyai urusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber – SQ tinggi dapat memaknai penderitaan hidup dengan berikan arti positif pada tiap-tiap momen, permasalahan, bahkan juga penderitaan yang dirasakannya. Dengan berikan arti yang positif itu, ia dapat menghidupkan jiwanya serta lakukan perbuatan serta aksi yang positif.


4. Moral Quotient (MQ)
Nilai, filosofi, serta himpunan kecerdasan moral mempunyai dampak yang sangatlah utama pada bisnis. Hal itu adalah basic dari visi, maksud, serta budaya organisasi. Tantangan dari kecerdasan moral tidak cuma untuk tahu yang benar serta yang salah, tetapi juga untuk berbuat dan bertindak yang benar. Pada segolongan populasi manusia ada sekumpulan manusia dengan jumlah prosentase yang kecil menanggung derita, alami sakit jiwa maupun terkucil. Grup ini kemungkinan tak “mengerti” yang benar serta yang salah. Kenapa kita tak seringkali bertindak yang pas? Umumnya orang bertindak yang pas terkadang saja. Melakukan tindakan atas tiap-tiap ketentuan yang kita buat sehari-hari, memperhitungkan apa yang “benar”, apa yang tambah baik serta bisa menolong komune kita, organisasi, serta orang lain. Tetapi kita tidak selamanya sepakat dengan apa yang benar.

Dalam soal ini nilai serta filosofi ikut bertindak. Penilaian kita jadi basic dalam yakin serta memastikan aksi. Filosofi adalah jalan untuk kita untuk memastikan nilai. Filosofi yang cerdas adalah hasrat untuk mengerti manusia, benda, serta dunia lewat rangkaian kata yang melukiskan bagaimanakah mereka bekerja dengan hal tersebut sediakan satu keamanan emosional dalam meramalkan hari esok. Manusia dengan filosofi mempercayakan pada logika dalam bikin ketentuan, serta menaksirkan harga dari suatu hal melawan “kode” yang mendasar atau mengatur garis dasar yang mengakibatkan kemelut. Manusia dengan pandangan ini mempercayakan pada kesadaran persaingan, kadang-kadang pada wewenang sosial yang terpisah. Anda mungkin saja pernah mendengar pengucapan seorang dengan filosofi yang cerdas, misalnya : “jika anda mempunyai jalan keluar yang luwes, orang lain bakal mempercayainya. Tak perlu berusaha untuk memberikan keyakinan mereka tentang kebaikannya. ” Mereka bisa memakai suatu style kemimpinan, bila visi yang digambarkan jadi pemicu yang baik di hari esok.

Dalam hipotesa riset ini diketemukan bahwa ada hal lebih mendasar dari kekuatan kecerdasan emosional. Hal itu terlihat sejenis kompas moral. Hal itu adalah jantung dari keberhasilan bisnis yang jalan lama. “Sesuatu yang lebih” ini diberi nama kecerdasan moral (moral intelligence). Kecerdasan moral adalah kemampuan mental untuk memastikan bagaimanakah prinsip umum manusia yang perlu dipakai pada nilai, maksud, serta aksi. Arti yang gampang, kecerdasan moral adalah kekuatan untuk membedakan yang benar dari yang salah seperti yang didefinisikan oleh prinsip umum. Prinsip umum adalah keyakinan tentang perilaku manusia dengan cara umum pada semua budaya didunia.

Kecerdasan moral tidak cuma utama untuk mengefektifkan kepemimpinan, tetapi juga adalah “pusat kecerdasan” untuk semua manusia. Kenapa? Lantaran kecerdasan moral dengan cara segera mendasari kecerdasan manusia untuk berbuat suatu hal yang bermanfaat. Kecerdasan moral memberi hidup manusia mempunyai maksud. Tanpa ada kecerdasan moral, kita tidak bisa berbuat suatu hal serta peristiwa-peristiwa sebagai pengalaman jadi tak bermakna. Tanpa ada kecerdasan moral kita akan tidak tahu kenapa pekerjaan yang kita kerjakan? Serta apa yang perlu ditangani?


5. Adversity Quotient
Saat pada akhirnya Thomas Alva Edison (1847 - 1931) sukses temukan baterai yang enteng serta tahan lama, dia sudah melalui 50. 000 percobaan serta bekerja sepanjang 20 th.. Tidak heran bila ada yang ajukan pertanyaan, “Mr. Edison, Anda sudah tidak berhasil 50. 000 kali, lantas apa yang bikin Anda meyakini bahwa pada akhirnya Anda bakal sukses? ” Dengan cara spontan Edison segera menjawab, “Berhasil? Tidak cuma sukses, saya sudah memperoleh banyak hasil.

Apakah adversity quotient (AQ) itu? Menurut Stoltz, AQ yaitu kecerdasan untuk menangani kesusahan. “AQ adalah aspek yang bisa memastikan bagaimanakah, jadi atau tidaknya, dan sejauh mana sikap, kekuatan serta kemampuan Anda terwujud didunia, ” catat Stoltz. Secara singkat, orang yang mempunyai AQ tinggi bakal lebih dapat wujudkan cita-citanya dibanding orang yang AQ-nya lebih rendah.

Untuk memberi deskripsi, Stoltz meminjam terminologi beberapa pendaki gunung. Dalam soal ini, Stoltz membagi beberapa pendaki gunung jadi tiga sisi :
1. Quitter (yang menyerah). Beberapa quitter yaitu beberapa pekerja yang sebatas untuk bertahan hidup). Mereka ini mudah putus harapan serta menyerah di dalam jalan
2. Camper (berkemah di dalam perjalanan) Beberapa camper tambah baik, lantaran umumnya mereka berani lakukan pekerjaan yang berisiko, namun terus mengambil resiko yang terarah serta aman. “Ngapain capek-capek” atau “segini juga telah cukup” yaitu moto beberapa campers. Beberapa orang ini sedikitnya telah rasakan tantangan, serta selangkah semakin maju dari beberapa quitters. Sayangnya banyak potensi diri yg tidak teraktualisasikan, serta yang pasti pendakian itu sesungguhnya belum usai.
3. climber (pendaki yang meraih puncak). Beberapa climber, yaitu mereka, yang dengan semua keberaniannya hadapi resiko, bakal menyelesaikan pekerjaannya. Mereka dapat nikmati sistem menuju kesuksesan, walaupun mereka ketahui bahwa bakal banyak halangan serta kesusahan yang menghadang. Tetapi, dibalik kesusahan itu ia bakal memperoleh banyak keringanan. ”Karena sebenarnya setelah kesusahan itu ada keringanan”. Dalam konteks ini, beberapa climber dikira mempunyai AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan pada beberapa climber, camper, serta quitter.

Jawaban mengagumkan dari pencipta lampu pijar itu jadi salah satu misal ekstrem seseorang climber (pendaki) –yang dikira mempunyai kecerdasan menangani kesusahan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memanglah tak sepopuler kecerdasan emosi (emotional quotient) punya Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial quotient) punya Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey. AQ nyatanya bukanlah sebatas anugerah yang berbentuk given. AQ nyatanya dapat dipelajari. Dengan latihan-latihan spesifik, tiap-tiap orang dapat di beri kursus untuk tingkatkan level AQ-nya. Manusia sejati yaitu manusia yang bila meniti perjalanan yang susah, mereka senantiasa optimis ; sedang bila mereka melalui perjalanan yang gampang mereka jadi cemas.

Dalam kehidupan riil, cuma beberapa climbers-lah yang bakal memperoleh keberhasilan serta kebahagiaan sejati. Suatu riset yang dikerjakan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris pada beberapa ratus orang berhasil di Inggris menunjukkan bahwa mereka mempunyai tiga ciri-ciri yang sama. Yakni, pertama, mereka berdedikasi tinggi pada apa yang tengah digerakkannya. Dedikasi itu dapat berbentuk prinsip, kecintaan atau ambisi untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Ke-2, mereka mempunyai determinasi. Tekad untuk meraih maksud, berusaha keras, berkeyakinan, tidak mudah menyerah serta tekad untuk meraih maksud yang diinginkannya. Serta ketiga, senantiasa tidak sama dengan orang lain. Orang berhasil menggunakan jalan, cara atau system bekerja yang tidak sama dengan orang lain biasanya. Dua dari tiga ciri-ciri orang berhasil yang disibakkan Handy dalam The New Alchemist itu erat hubungannya dengan kekuatan seorang dalam hadapi tantangan


Dalam dunia kerja, kenapa beberapa karyawan yang ber-IPK tinggi kalah berkompetisi dibanding beberapa karyawan lain yang ber-IPK rendah namun lebih berani dalam melakukan tindakan?

wdcfawqafwef